KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SEBAGAI PRAKTEK KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH DASAR

A. Pendahuluan 
Kemampuan literasi yang diperoleh siswa di Indonesia dalam aktivitas formal maupun informal tidak selamanya sepadan dengan kemampuan literasi yang menjadi acuan internasional. Pada tahun 2011 PIRLS mempublikasikan penelitian yang menempatkan siswa Indonesia dalam peringkat keempat terbawah dari 49 negara yang berpartisipasi dalam penelitian mereka. Studi Universitas Negeri Conneticut Pusat Amerika Serikat (CCSU) (Merdeka.com, 2016) juga menunjukkan tingkat melek huruf dan kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara partisipan. Di dalam tes baca-tulis PIRLS (2011), proses kognitif yang ditekankan dalam pemahaman membaca adalah sebagai berikut.  
1. Information retrieval: Menemukan dan mengambil informasi yang disebutkan secara eksplisit di dalam bacaan.  
2. Inference: Membuat kesimpulan langsung dari bacaan. 
3. Synthesis: Menginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi di dalam bacaan.  
4.Evaluation: Menilai dan mengevaluasi isi, bahasa, dan elemen-elemen tekstual dalam bacaan. 
Berdasarkan hasil survei PIRLS, hanya 12% dari siswa Indonesia yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sintesis dan 7% pertanyaan-pertanyaan yang bersifat evaluatif (Mullis dkk., 2012). Fakta ini tidak mengagetkan ketika kita mengamati kegiatan membaca dalam kurikulum Bahasa di Indonesia. Marissa, dkk (2016) dalam penelitiannya menemukan bahwa 90% buku teks Bahasa Indonesia (Buku Sekolah Elektronik) menekankan pada kecakapan kognitif level bawah seperti information retrieval dan summary. Contohnya, siapa yang bekerja bakti membersihkan taman? Apa makanan harimau di kebun binatang? Di mana alamat rumah sakit tempat korban dirawat? Apa amanat cerita di atas? Bagaimana watak tokoh Siwi?  
Di dalam kegiatan membaca berbagai genre teks, siswa kelas 1 sampai kelas 4 SD ‘dibudayakan’ untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya faktual dan bisa langsung terjawab secara eksplisit dari bacaan (kriteria pemrosesan kognitif #1 dan #2 dalam kerangka PIRLS). Sayangnya, dari 4 teks Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang disurvei dalam penelitian ini, hanya 10% yang melatih kecakapan sintesis dan evaluasi siswa (Marissa, dkk, 2016).  
Selain itu, guru juga banyak mengandalkan pertanyaan yang bersumber dari buku tulis dan kurang menelisik lebih dalam kemampuan siswa untuk menganalisis bacaan melalui pertanyaan yang jawabannya bersifat implisit. Contohnya, saat guru dan siswa berdiskusi tentang bacaan bertema pengumuman lowongan pekerjaan. Guru tidak mengembangka pertanyaan bersifat inference dan synthesis, mengapa rumah sakit membutuhkan tenaga dokter dan perawat? Mengapa rumah sakit membutuhkan perawat yang berusia muda?  Menggunakan kerangka kecapakan literasi PIRLS yang telah dijabarkan di atas, makalah ini difokuskan untuk menjawab rumusan masalah yaitu bagaimana aktivitas pembelajaran mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi? Kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan untuk hidup pada abad 21. 
Hidup pada abad 21 membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah, mengolah informasi, menggunakan berbagai macam media, dan memahami perbedaan budaya. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kemampuan menginisiasi, menggali lebih dalam, menscaffold siswa dengan pertanyaan tingkat tinggi. Caranya adalah guru mendapatkan pelatihan bagaimana menggali lebih dalam pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban implisit.  
B. Kajian Teori  
1.  Taksonomi bloom  
Jika siswa dimaksudkan menjadi pembaca kritis, mereka butuh praktek menjawab pertanyaan yang menuntut berpikir di berbagai tingkatan, yang berarti guru harus menulis pertanyaan bersifat recall, inference, retrieval, maupun evaluation (Linquist, 1982). Krathwohl (2002) menuliskan revisi Taksonomi Bloom. Dahulu Taksonomi Bloom yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan Evaluasi. Namun, seiring perkembangan zaman Taksonomi Bloom mengalami perbaikan yaitu remember, understand, apply, analyze, evaluate, create.  
Pertanyaan yang dirancang untuk mengukur tingkatan pertama dalam Taksonomi Bloom, remember adalah yang paling mudah ditulis. Pertanyaan yang berfokus pada pengenalan atau recall ingatan jangka panjang, pengulangan sederhana dari sebuah kata atau ide bacaan untuk mengisi kekosongan diskusi kelas atau meminta jawaban eksplisit. Pertanyaan jenis ini contohnya meminta nama penulis atau mengingat beberapa detail tentang setting cerita. Ini adalah dasar untuk meningkat ke hirarki kemampuan berpikir yang lebih tinggi.   
Di atas remember adalah  understand atau pemahaman,  yang melibatkan kemampuan menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Contoh soal pada tingkatan pemahaman yaitu "Bagaimana cara rumah sakit mendapatkan tenaga dokter dan perawat? Ini adalah contoh dari jenis 242  pertanyaan, yang jawabannya tidak secara khusus tertulis dalam bacaan. Pemahaman merupakan langkah pertama di luar wacana tertulis, walaupun kecil. 
Tingkat ketiga adalah apply atau penerapan. Level ini mentransfer ide-ide ke dalam setting lain sehingga siswa dapat menafsirkan cara ide seseorang digunakan dalam cerita dengan cara ide yang sama dikaitkan dengan kehidupan mereka. Sebuah pertanyaan seperti "Apakah kamu pernah mengalami kejadian seperti yang dialami tokoh cerita? Ceritakan bagaimana pengalamanmu! " adalah contoh dari jenis aplikasi ini.  
Analisis adalah tingkat keempat. Pertanyaan yang melibatkan analisis membagi literatur menjadi beberapa bagian. Level ini meminta pembaca untuk mempelajari masing-masing bagian. Pertanyaan yang berpusat pada kalimat atau struktur paragraf, pola pengembangan ide, pilihan kata, dan bahasa kiasan, semua meminta analisis. Ini seperti meminta siswa untuk membedakan karakter antar tokoh cerita, diagram alur, atau membandingkan dua tema.  
Tingkatan kelima adalah evaluasi. Pertanyaan yang mengevaluasi meminta pembaca untuk membuat penilaian tentang hasil pekerjaan, untuk membentuk opini berdasarkan standar pemahaman dengan mempelajari tingkatan lainnya. Seorang siswa hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan jika ia bisa menjawab pertanyaan di semua tingkatan lainnya. Dari deskripsi fisik (pengetahuan), ciri-ciri kepribadian (pemahaman), perbandingan tokoh cerita dengan orang di dunia nyata (aplikasi), bagaimana tokoh tersebut berhubungan dengan tokoh lain dalam buku (analisis).  
Tingkatan tertinggi adalah create. Level ini menempatkan beberapa elemen bersama untuk membentuk sebuah produk baru, saling berhubungan secara menyeluruh atau membuat produk original. Tingkatan ini meliputi kemampuan menghasilkan, merencanakan, memproduksi hal baru. Contohnya, pertanyaan siswa yang meminta siswa menambahkan cerita baru pada bacaan yang sudah atau siswa membuat cerita yang benar-benar baru berbeda dari bacaan yang sudah ada.  
Pertanyaan-pertanyaan yang mewakili tingkatan Taksonomi Bloom dalam panduan membaca hampir tidak mudah dikenali. Pertanyaan juga tidak sepenuhnya menggabungkan Taksonomi Bloom. Pertanyaan tidak meliputi keseluruhan pengetahuan yang harus diketahui siswa. Namun, panduan pertanyaan dari level rendah sampai tinggi membantu siswa melihat bacaan secara keseluruhan. Pendekatan yang terorganisir membuat kemampuan berpikir menjadi lebih baik, mudah memahami bacaan, dan meningkatkan kemampuan membaca serta kecakapan kognitif siswa.   

2. Keterampilan abad 21  
Hidup di abad 21  membutuhkan kemampuan  menyelesaikan ma mengolah informasi, menggunakan berbagai macam media, dan memahami perbedaan budaya. Frase “abad 21” mengarahkan pada susunan kompleks kebutuhan manusia agar bisa hidup, belajar, dan bekerja di era digital. Saavedra dan Opfer (2012) menyatakan, kemampuan abad ke-21 yang relevan dengan aspek kehidupan kontemporer di dunia yang kompleks, kebanyakan menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi, hasil belajar lebih mendalam, berpikir  kompleks dan kemampuan komunikasi yang baik. Posner (2002) menambahkan bahwa manusia yang hidup pada abad 21 perlu dilatih berpikiran dan memiliki motivasi kreativitas yang tinggi. “Pikiran yang terlatih" tidak hanya meliputi kemampuan berpikir, mengumpulkan data, merumuskan model, menguji hipotesis, menyimpulkan, dan sebagainya. Yang paling penting, keinginan dan kebiasaan berpikir. 
Anak-anak perlu diajarkan tentang substansi berpikir tingkat tinggi agar menjadi manusia yang produktif.  Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru dalam kegiatan belajar mengajar agar siswa memiliki ketrampilan abad 21 yang dibutuhkan (Saavedra dan Opfer, 2012 yaitu.  
a. Mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Contohnya saat siswa sedang belajar tentang pantun. Siswa diberi contoh cara membuat pantun nasehat tentang ajakan mengaji, membantu orang tua, rajin membaca, dan lain-lain.  
b. Mengaitkan satu pelajaran dengan pelajaran lain. Contohnya, bahasa dengan sains. Selain siswa belajar tentang pengetahuan pelajaran tertentu, ia juga belajar tentang cara menemukan pengetahuan. Misalnya, melalui praktek pelajaran sains, siswa belajar mengapa ilmu sains relevan, mengenali jenis masalah yang bisa mereka selesaikan melalui metode ilmiah, bagaimana melakukan eksperimen, bagaimana mereka mencapai kesimpulan, apa yang mereka lakukan dengan pengetahuan yang mereka peroleh dari proses tersebut. Selanjutnya, siswa diajarkan cara mengkomunikasi temuan mereka menggunakan kalimat sesuai EYD.  
c. Mengembangkan ketrampilan berpikir. Siswa diajak mengembangkan ketrampilan berpikir rendah dan tinggi secara bersamaan dan berkesinambungan. Contohnya, materi pantun nasehat pada buku ajar wajib lebih banyak soal yang bersifat lower-order thinking yaitu membuat pantun saja tanpa memaknai pantun tersebut. Guru perlu mengembangkan pertanyaan lebih mendalam tentang pantun nasehat. Misalnya, mengapa kamu harus rajin mengaji, mengapa kamu harus rajin belajar, bagaimana cara belajar yang benar, dan lain-lain.  
d. Mendorong transfer pembelajaran, maknanya siswa harus menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang mereka peroleh dalam disiplin ilmu yang lain dan apa yang mereka pelajari di sekolah ke area lain dalam kehidupan mereka. Contoh keterampilan yang dapat ditransfer mencakup kemampuan untuk bekerja dalam tim atau pemahaman sebabakibat. Konteks pembelajaran dapat dilakukan pada mata pelajaran lain atau bahkan tempat kerja di masa depan di mana pelajar bisa menggunakan pengetahuan atau keterampilan tersebut. Transfer dapat terjadi baik dengan low road maupun high road. Penerapan transfer low road contohnya siswa membuat isi pantun yang mirip dengan yang dicontohkan guru maupun buku referensi. Penerapan transfer high road membutuhkan pertanyaan yang merangsang siswa untuk menghubungkan antara pantun nasehat dengan kehidupan sehari-hari.  
e. Mengajarkan siswa bagaimana cara belajar. Guru dapat mengembangkan metakognisi siswa dengan mendorong mereka memahami pikiran mereka sendiri. Guru dapat meminta siswa menyelesaikan contoh masalah secara mandiri, kemudian merefleksikan cara penyelesaian masalah mereka. Cara tersebut mengajarkan siswa lebih memahami cara belajar dan batas kemampuan mereka, serta siswa diijinkan belajar dari kegagalan dan kesalahan mereka.  
f. Meluruskan kesalahpahaman secara langsung. Ada kalanya informasi dari buku teks pelajaran menimbulkan kesalahpahaman maupun persepsi yang berbeda yang ditangkap siswa, dan tugas guru untuk meluruskannya. Saat kegiatan belajar berlangsung guru dapat meluruskan kesalahpahaman dan memperdalam pemahaman siswa pada materi pelajaran dengan praktek langsung misalnya.  
g. Memberlakukan kerjasama layaknya hasil akhir pembelajaran. Kemampuan berkolaborasi dengan orang lain merupakan ketrampilan abad 21. Guru dapat merancang instruksi dalam banyak hal sehingga siswa belajar dari dan dengan orang lain, mengembangkan kemampuan mereka untuk bekerja dalam tim dan membangun keterampilan abad 21 lainnya. Siswa dapat mendiskusikan pelajaran secara berpasangan atau berkelompok dan berbagi apa yang mereka pahami dengan seluruh kelas. Siswa dapat mengembangkan argumen dan perdebatan mereka.  
h. Memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Teknologi menawarkan potensi untuk mengembangkan keterampilan abad 21 siswa dengan menyediakan cara-cara baru untuk mengembangkan pemecahan masalah mereka, berpikir kritis, dan keterampilan komunikasi. Teknologi dapat membantu siswa berlatih mentransfer keterampilan tersebut ke dalam konteks yang berbeda, merefleksikan pemikiran mereka dan rekan-rekan mereka, praktik menyelesaikan kesalahpahaman mereka, dan berkolaborasi dengan rekan-rekan.  
i. Mengembangkan kreativitas. Kreativitas dihargai di bidang ekonomi, sipil, dan global karena memicu inovasi yang dapat menciptakan lapangan kerja, tantangan, dan memotivasi kemajuan sosial dan individual. Seperti kecerdasan dan kemampuan belajar, kreativitas bukanlah karakteristik yang menetap. Sebaliknya, kreativitas adalah kemampuan tambahan, sehingga siswa dapat belajar menjadi lebih kreatif dengan memanfaatkan sumber daya di sekitarnya. Guru perlu mengembangkan kreativitas siswa dengan mengenali sisi kreatif mereka. Mengajarkan tentang proses kreatif dan halhal yang mendukung dapat mengembangkan kreativitas.  

DAFTAR PUSTAKA  
Andriana, D.E. 2010. “Mengembangkan Profesionalitas Guru Abad 21 Melalui Program Pembimbingan Yang Efektif”, Jurnal Manajemen Pendidikan, No. 02, Thn.VI, pp 78-92  

Linquist, A.A. 1982. “Applying Bloom's Taxonomy in Writing Reading Guides for Literature”, Journal of Reading, Vol. 25, No. 8 (May, 1982), pp. 768-774  

Marissa, D.N., Galih, P.S., Fatimah, D. A., Dewi, S. T., Arifah, N., & Pamulatsih, F. 2016. Indonesian Language Arts Textbooks in Promoting Higher-Order Cognitive Processing: Analysis of Buku Sekolah Elektronik. Journal of Literacy Research, Manuscript in preparation.  

Menteri Pendidikan Nasional . 2006. “Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor  23 Tahun 2006”, http://staff.unila.ac.id/radengu nawan/files/2011/09/Permend iknas-No.-23-tahun-2006.pdf, diunduh pada tanggal 3 Oktober 2017.  

Mohammad, Ardyan. 2016. Kemampuan Membaca Bangs Indonesia Urutan 60 Dunia, https://www.merdeka.com/ dunia/kemampuanmembaca-bangsaindonesia-urutan-60dunia.html diunduh pada tanggal 21 September 2017.  

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. 2012. PIRLS 2011 International Results in Reading, Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, Boston College, https://timssandpirls.bc.ed u/ diunduh pada tanggal 21 September 2017.  

Mullis, I. V., Martin, M. O., Kennedy, A. M., Trong, K. L., & Sainsbury, M. (Eds.). 2012. PIRLS 2011 International Results in Reading, Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, https://timssandpirls.bc. edu/ diunduh pada tanggal 21 September 2017.  

Pintrich, P.R. 2002. “The Role of Metacognitive Knowledge in Learning, Teaching, and Assessing”, Collage of Education, The Ohio State University, Vol.41, No.4, pp 219-225  

Posner, Dave. 2002. “Education for the 21st Century”, The Phi Delta Kappan, Vol. 84, No. 4, pp. 316-317    

Saveedra, A.R. and Opfer, V.D. 2012. “Learning 21stcentury skills requires 21stcentury teaching”, The Phi Delta Kappan, Vol. 94, No. 2, pp. 8-13 

Schunk, D.H. 2012.Learning Theories (Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan (terj. Hamdiah, E dan Fajar, R.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMANFAATAN APLIKASI VIDEOSCRIBE & KINEMASTER DALAM PEMBUATAN BAHAN AJAR BERBASIS MULTIMEDIA

PENELITIAN DESKRIPTIF